+6287773666282 Jl. Surabaya-Menceh, RT 00 RW 00, Mosok Dusun Leda Desa Surabaya, Kec. Sakra Timur, Provinsi NTB.
Yazri Harapan Nusantara
Belajar Bersama, Menumbuhkan Akses, Membangun Bangsa.
Judul Gambar 1
Judul Gambar 1 Caption penjelasan gambar 1
Judul Gambar 2
Judul Gambar 2 Penjelasan isi gambar 2 dan shrink aktif
Home Berita dan Artikel Pendidikan

Viral Tanpa Tabayyun, Anak SMP di Lombok Timur Jadi Korban: Yuk Renungkan Cara Kita Bermedsos

"Refleksi bijak bermedia sosial, pentingnya tabayyun, dan perlindungan anak dari dampak digital yang merugikan"

YAHANTARA.COM - Di tengah derasnya arus informasi digital, sebuah peristiwa memilukan terjadi di Kecamatan Keruak, Lombok Timur. Seorang siswa SMP bernama Muhammad Agung Maulana menjadi korban perundungan setelah video dirinya dituduh mencuri peti buah bekas viral di media sosial. Akibat tekanan sosial dan psikologis yang dialaminya, Agung dan adiknya memilih untuk berhenti sekolah.

Peristiwa ini bukan sekadar kasus viral biasa. Ia menjadi cermin bagi kita semua—tentang bagaimana media sosial bisa menjadi alat kekerasan jika digunakan tanpa empati, tanpa klarifikasi, dan tanpa kesadaran akan dampaknya.

Kronologi Tuduhan Tanpa Tabayyun yang Berujung Trauma

Kejadian bermula ketika seorang ibu yang mengaku sebagai pemilik peti buah bekas memergoki Agung dan langsung menuduhnya mencuri. Dalam video yang direkam dan disebarkan oleh warga, ibu tersebut meminta agar kejadian itu diviralkan.

“Kamu jangan macam-macam, maling ini maling. Kurang ajar kamu, videokan ini pak, sudah tiga kali ini maling, baru sekarang kamu ketemu. Viralin pak,” ujar ibu tersebut sambil menunjuk dan memegang kerah baju Agung.

Tanpa proses klarifikasi, tanpa ruang pembelaan, video tersebut menyebar luas di Facebook dan menjadi konsumsi publik.

Alih-alih mendapatkan keadilan, Agung justru menjadi sasaran ejekan, cibiran, dan perundungan dari teman-teman sekolah serta masyarakat sekitar.

Dampak Sosial Dua Anak Kehilangan Hak Belajar

Muhammad Najir, ayah dari Agung, mengungkapkan bahwa tekanan mental yang dialami anaknya sangat berat. Agung tidak hanya di-bully di sekolah, tetapi juga merasa malu dan terasing di lingkungan tempat tinggalnya.

Bahkan adiknya yang masih duduk di kelas satu SD ikut terdampak dan memilih berhenti sekolah.

“Anak-anak saya berhenti sekolah akibat peristiwa yang dialami. Mental anak saya terganggu karena di-bully di sekolah oleh teman-temannya,” ujar Najir.

Kita perlu bertanya: apakah satu video yang viral sepadan dengan hilangnya hak pendidikan dua anak? Apakah popularitas di media sosial lebih penting daripada masa depan generasi muda?

Langkah Damai Membangun Pemahaman dan Saling Memaafkan

Dalam menghadapi situasi yang menyakitkan, keluarga Agung memilih untuk menempuh jalur damai dan saling memaafkan. Mereka berharap agar peristiwa ini menjadi pelajaran bersama, bukan ajang saling menyalahkan.

Upaya penyelesaian secara kekeluargaan dan dialog terbuka menjadi langkah yang diutamakan, dengan harapan dapat meredakan ketegangan dan memulihkan kondisi psikologis anak.

Lebih dari sekadar menyelesaikan masalah, pendekatan damai ini diharapkan dapat membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya empati, klarifikasi, dan perlindungan terhadap anak di era digital.

Langkah ini juga menjadi contoh bahwa penyelesaian konflik tidak selalu harus melalui jalur hukum, tetapi bisa melalui pendekatan yang lebih manusiawi dan penuh pengertian.

Refleksi Sosial Saatnya Bijak Bermedia Sosial

Media sosial adalah ruang publik yang sangat kuat. Ia bisa membangun, tetapi juga bisa menghancurkan. Dalam kasus Agung, kita melihat bagaimana satu video yang viral tanpa tabayyun bisa merusak mental anak, memutus akses pendidikan, dan menciptakan stigma sosial yang menyakitkan.

Kita perlu mengingat bahwa di balik layar ponsel kita, ada manusia nyata yang memiliki perasaan, keluarga, dan masa depan.

Menyebarkan video tanpa izin, menghakimi tanpa klarifikasi, dan mempermalukan seseorang di ruang digital adalah bentuk kekerasan yang sering kali tidak kita sadari.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menumbuhkan kesadaran digital yang berlandaskan empati dan tanggung jawab sosial.

Tabayyun Nilai Luhur yang Terlupakan di Era Digital

Dalam tradisi Islam dan budaya lokal kita, tabayyun adalah prinsip penting: klarifikasi sebelum menyebarkan informasi. Sayangnya, prinsip ini sering kali terabaikan di era media sosial yang serba cepat dan impulsif.

Sebelum kita menekan tombol “share” atau “viralkan,” mari kita bertanya: Apakah informasi ini sudah benar? Apakah saya sudah mendengar kedua sisi cerita? Apakah ini akan menyakiti orang lain? Apakah saya sedang mencari keadilan atau hanya sensasi?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan kompas moral yang harus kita pegang dalam bermedia sosial. Dengan tabayyun, kita mencegah fitnah, menjaga martabat sesama, dan membangun ruang digital yang lebih sehat dan manusiawi.

Di era yang serba cepat ini, jeda untuk berpikir sebelum menyebarkan informasi adalah bentuk tanggung jawab sosial yang sangat penting. Mari kita hidupkan kembali nilai-nilai luhur ini agar media sosial menjadi ruang yang mendidik, bukan melukai.

Pendidikan Digital Tanggung Jawab Bersama

Kasus ini juga menunjukkan pentingnya pendidikan literasi digital, terutama bagi anak-anak dan orang tua. Sekolah, pemerintah, dan masyarakat perlu bersinergi untuk membekali generasi muda dengan kemampuan berpikir kritis, empati, dan etika bermedia sosial.

Konten kreator pun perlu memahami bahwa popularitas tidak boleh mengorbankan kemanusiaan. Setiap video yang diunggah harus melalui pertimbangan etis, terutama jika melibatkan anak-anak atau individu yang rentan.

Pendidikan digital harus menjadi bagian dari kurikulum dan budaya keluarga agar anak-anak tumbuh dengan kesadaran dan keterampilan bermedia yang sehat.

Dengan literasi digital yang baik, kita bisa menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga bijak secara sosial.

Mari Bangun Ruang Digital yang Beradab

Kisah Muhammad Agung Maulana bukan hanya tentang satu anak yang berhenti sekolah. Ini adalah cerita tentang kita semua—tentang bagaimana kita memperlakukan sesama di ruang digital, tentang nilai-nilai yang kita pegang, dan tentang masa depan yang ingin kita bangun.

Mari kita hentikan budaya menghakimi dan mempermalukan. Mari kita hidupkan kembali nilai tabayyun, empati, dan keadilan.

Karena di balik setiap layar, ada manusia yang layak dihormati.***

Komentar


Kolaborasi

Jadi bagian Yazri Harapan Nusantara