Tradisi Merariq Sasak: Kawin Lari Adat Lombok dalam Perspektif Hukum Islam
"Merariq: tradisi kawin lari Sasak Lombok, ditinjau dari asal-usul budaya dan perspektif hukum Islam tentang pernikahan sah."
YAHANTARA.COM - Di tengah gemuruh modernisasi dan arus globalisasi, tradisi lokal sering kali menjadi sorotan. Salah satu tradisi yang menarik perhatian adalah Merariq, sebuah praktik pernikahan khas masyarakat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tradisi ini dikenal luas sebagai bentuk “kawin lari,” namun maknanya jauh lebih kompleks daripada sekadar penculikan romantis.
Merariq bukan sekadar ritual adat, melainkan simbol keberanian, cinta, dan identitas budaya. Namun, di balik keunikannya, muncul pertanyaan besar: apakah tradisi ini masih relevan di era sekarang, terutama jika ditinjau dari perspektif hukum Islam?
Tradisi Merariq dimulai dengan aksi yang cukup dramatis—seorang pria “menculik” gadis pujaannya tanpa sepengetahuan keluarga si gadis. Aksi ini dilakukan secara diam-diam dan dianggap sebagai langkah awal menuju pernikahan. Setelah gadis berhasil dibawa, keluarga pria wajib segera memberi tahu keluarga wanita bahwa anak mereka telah “dilarikan.” Pemberitahuan ini harus dilakukan dalam waktu maksimal tiga hari, sebagai bentuk penghormatan dan tanggung jawab sosial.
Setelah pemberitahuan diterima, proses pernikahan dilangsungkan di rumah keluarga pria. Meski sederhana, prosesi ini sarat makna dan menjadi titik awal kehidupan baru bagi pasangan tersebut. Setelah resmi menikah, pasangan akan melakukan kunjungan ke rumah keluarga wanita dalam sebuah acara yang disebut “nyongkol.” Nyongkol bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan prosesi adat yang meriah, diiringi musik tradisional, tarian, dan rombongan besar sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga mempelai wanita.
Bagi masyarakat Sasak, Merariq memiliki banyak makna. Sebagian melihatnya sebagai bukti kesungguhan cinta dan keberanian pria dalam memperjuangkan wanita yang dicintainya. Ada pula yang menganggapnya sebagai simbol status sosial dan keberhasilan dalam “merebut” hati gadis idaman. Tak sedikit yang memandang Merariq sebagai warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan.
Namun, seiring berjalannya waktu, pandangan terhadap Merariq mulai bergeser. Banyak generasi muda dan kelompok masyarakat terdidik yang mulai mempertanyakan praktik ini. Mereka menyoroti dampak negatif yang bisa timbul, seperti konflik antar keluarga, tekanan psikologis pada perempuan, dan potensi pelanggaran hukum. Dalam beberapa kasus, Merariq bahkan dilakukan tanpa persetujuan penuh dari pihak perempuan, yang tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi dan ajaran Islam.
Dalam perspektif hukum Islam, pernikahan harus dilandasi oleh kerelaan kedua belah pihak, keterlibatan wali, serta transparansi dalam prosesnya. Merariq, yang sering kali dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan minim keterlibatan keluarga wanita, dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Islam menekankan pentingnya akad nikah yang sah, restu orang tua, dan proses yang tidak menimbulkan mudarat. Maka, jika Merariq dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, praktik ini bisa dianggap tidak sesuai dengan syariat.
Meski demikian, bukan berarti Merariq harus dihapuskan sepenuhnya. Tradisi ini bisa direinterpretasi dan disesuaikan dengan konteks zaman. Misalnya, mengganti aksi penculikan dengan proses lamaran yang tetap mempertahankan unsur budaya, seperti nyongkol dan iringan musik tradisional. Dengan pendekatan yang bijak, Merariq bisa tetap hidup sebagai bagian dari identitas budaya Sasak, namun dalam bentuk yang lebih harmonis dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Menjaga tradisi bukan berarti menutup mata terhadap perubahan. Justru, dengan memahami akar budaya dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai universal, kita bisa menciptakan harmoni antara masa lalu dan masa kini. Merariq adalah cerminan dari dinamika budaya yang terus berkembang. Ia mengajarkan kita tentang cinta, keberanian, dan pentingnya dialog antara adat dan agama.
Di era digital seperti sekarang, ketika informasi menyebar begitu cepat dan nilai-nilai global semakin mendominasi, tradisi seperti Merariq menjadi pengingat bahwa budaya lokal memiliki kekayaan yang tak ternilai. Namun, kekayaan itu harus dirawat dengan bijak, agar tidak menjadi sumber konflik atau ketidakadilan.
Merariq bukan hanya tentang kawin lari. Ia adalah cerita tentang masyarakat yang berjuang menjaga identitasnya, tentang cinta yang melampaui batas, dan tentang bagaimana tradisi bisa tetap hidup tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual. Jika dijalankan dengan pemahaman yang utuh dan niat yang baik, Merariq bisa menjadi jembatan antara adat dan syariat, antara masa lalu dan masa depan.***