+6287773666282 Jl. Surabaya-Menceh, RT 00 RW 00, Mosok Dusun Leda Desa Surabaya, Kec. Sakra Timur, Provinsi NTB.
Yazri Harapan Nusantara
Belajar Bersama, Menumbuhkan Akses, Membangun Bangsa.
Judul Gambar 1
Judul Gambar 1 Caption penjelasan gambar 1
Judul Gambar 2
Judul Gambar 2 Penjelasan isi gambar 2 dan shrink aktif
Home Berita dan Artikel Pendidikan

Satu Video Dua Anak Kehilangan Sekolah, Saatnya Bijak Sebelum Menyebar

YAHANTARA.COM - Di sebuah desa di Lombok Timur, seorang anak SMP bernama Agung memutuskan berhenti sekolah. Bukan karena malas, bukan karena tak mampu, tapi karena sebuah video yang viral di media sosial. Video itu merekam dirinya saat dituduh mencuri peti buah bekas, lalu disebarkan tanpa klarifikasi. Dalam hitungan jam, video tersebut menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.


Agung bukan satu-satunya yang terdampak. Adiknya yang masih duduk di bangku SD ikut berhenti sekolah karena tekanan sosial yang muncul setelah video itu viral. Keluarga mereka merasa terasing, dan lingkungan sekitar berubah menjadi tempat yang tidak lagi ramah. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang belajar dan tumbuh, justru menjadi sumber tekanan dan perundungan.


Kita hidup di zaman di mana satu rekaman bisa menyebar ke ribuan orang dalam hitungan menit. Namun di balik kecepatan itu, sering kali kita lupa bahwa yang kita sebarkan bukan sekadar konten—melainkan kehidupan orang lain. Ketika konten viral tidak diiringi dengan empati dan klarifikasi, ia bisa menjadi alat kekerasan yang tak terlihat.


Kisah Agung adalah pengingat bahwa media sosial bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal tanggung jawab. Kita semua adalah pengguna, dan setiap tindakan kita di ruang digital memiliki dampak nyata di dunia nyata. Satu klik bisa menjadi luka, satu share bisa menjadi trauma.


Media sosial sebagai ruang publik


Media sosial memberi kita kebebasan untuk berbagi, berekspresi, dan berinteraksi. Namun kebebasan itu datang dengan tanggung jawab yang besar. Ketika kita menyebarkan video tanpa tahu cerita lengkapnya, kita bisa menjadi bagian dari luka yang tak terlihat. Kita bisa menjadi penyebab trauma yang tak terucap.


Dalam kasus Agung, video yang viral bukan hanya menciptakan stigma, tetapi juga mengubah arah hidup seorang anak. Ia kehilangan rasa percaya diri, kehilangan hak untuk belajar, dan kehilangan ruang aman di sekolah maupun di rumah. Semua itu terjadi karena satu video yang disebarkan tanpa proses tabayyun.


Media sosial seharusnya menjadi ruang edukatif, bukan ruang penghakiman. Ia bisa menjadi alat untuk membangun empati, bukan menyebarkan kebencian. Namun itu hanya bisa terjadi jika kita sebagai pengguna memilih untuk bijak, memilih untuk berhenti sejenak sebelum menyebarkan sesuatu yang belum tentu benar.


Kita perlu membangun budaya digital yang sehat, di mana klarifikasi menjadi bagian dari kebiasaan, dan empati menjadi nilai utama. Karena di balik setiap unggahan, ada manusia yang bisa terluka. Dan di balik setiap komentar, ada dampak yang bisa bertahan lama.


Menghidupkan kembali nilai tabayyun


Dalam budaya kita, tabayyun adalah nilai luhur yang mengajarkan kita untuk memeriksa, mendengar, dan memahami sebelum mengambil kesimpulan. Ia bukan hanya ajaran agama, tetapi juga prinsip kemanusiaan yang relevan di era digital. Sayangnya, nilai ini sering kali terabaikan ketika kita tergesa-gesa menyebarkan informasi.


Tabayyun mengajak kita untuk tidak menelan mentah-mentah apa yang kita lihat atau baca. Ia mengajarkan kita untuk bertanya, untuk mencari konteks, dan untuk memberi ruang bagi kebenaran. Dalam kasus Agung, tidak ada proses tabayyun. Yang ada hanya tuduhan, rekaman, dan penyebaran yang berujung pada stigma.


Kita perlu menghidupkan kembali nilai ini dalam kehidupan digital kita. Sebelum menekan tombol “share”, mari kita bertanya: apakah informasi ini sudah jelas? Apakah saya sudah mendengar kedua sisi cerita? Apakah ini akan menyakiti orang lain? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini bisa mencegah dampak besar yang tidak kita inginkan.


Tabayyun bukan hanya soal benar atau salah. Ia adalah soal keadilan, soal memberi ruang bagi orang lain untuk menjelaskan, dan soal menjaga martabat sesama. Jika kita ingin membangun ruang digital yang sehat, maka tabayyun harus menjadi bagian dari budaya kita.


Anak-anak butuh perlindungan bukan penghakiman


Agung dan adiknya adalah anak-anak yang seharusnya tumbuh dengan semangat belajar dan rasa aman. Namun karena satu video yang viral, mereka kehilangan keduanya. Mereka tidak hanya berhenti sekolah, tetapi juga kehilangan kepercayaan diri dan rasa percaya terhadap lingkungan sekitar.


Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak media sosial. Mereka belum memiliki kemampuan penuh untuk memahami stigma, tekanan sosial, dan dinamika digital. Oleh karena itu, mereka membutuhkan perlindungan ekstra - bukan penghakiman yang datang dari orang dewasa maupun teman sebaya.


Kita sebagai masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak. Baik di dunia nyata maupun di dunia digital. Ketika kita menyebarkan konten yang melibatkan anak tanpa izin dan tanpa klarifikasi, kita turut berkontribusi dalam menciptakan trauma yang bisa bertahan lama.


Perlindungan anak bukan hanya tugas orang tua atau guru. Ia adalah tanggung jawab bersama. Dan salah satu bentuk perlindungan terbaik adalah dengan tidak menjadikan anak sebagai objek viralitas yang tidak sehat. Karena setiap anak berhak untuk tumbuh, belajar, dan merasa aman.


Saatnya kita renungkan


Setiap kali kita melihat video yang memojokkan seseorang, mari kita berhenti sejenak. Mari kita bertanya: apakah saya tahu cerita lengkapnya? Apakah ini akan menyakiti orang lain? Apakah saya sedang mencari kebenaran, atau hanya sensasi? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi tameng moral sebelum kita ikut menyebarkan.


Kita semua adalah bagian dari ekosistem digital. Dan ekosistem itu hanya akan sehat jika kita mengisinya dengan empati, klarifikasi, dan tanggung jawab. Satu video yang viral bisa mengubah hidup seseorang. Tapi satu keputusan untuk tidak menyebarkan juga bisa menyelamatkan masa depan seseorang.


Kisah Agung bukan hanya tentang satu anak. Ia adalah cermin bagi kita semua. Tentang bagaimana kita menggunakan media sosial. Tentang nilai yang kita pegang. Tentang empati yang perlu kita jaga. Dan tentang pilihan-pilihan kecil yang bisa berdampak besar.


Mari kita hidupkan kembali tabayyun. Mari kita gunakan media sosial dengan hati. Karena setiap klik adalah pilihan—pilihan untuk menyakiti, atau melindungi. Dan pilihan itu ada di tangan kita semua.***

Komentar


Kolaborasi

Jadi bagian Yazri Harapan Nusantara