+6287773666282 Jl. Surabaya-Menceh, RT 00 RW 00, Mosok Dusun Leda Desa Surabaya, Kec. Sakra Timur, Provinsi NTB.
Yazri Harapan Nusantara
Belajar Bersama, Menumbuhkan Akses, Membangun Bangsa.
Judul Gambar 1
Judul Gambar 1 Caption penjelasan gambar 1
Judul Gambar 2
Judul Gambar 2 Penjelasan isi gambar 2 dan shrink aktif
Home Berita dan Artikel Pendidikan

Privasi dan Martabat di Era Digital

YAHANTARA.COM - Di era digital, batas antara ruang pribadi dan ruang publik semakin kabur. Apa yang dulu dianggap sebagai urusan pribadi kini bisa tersebar luas hanya dalam hitungan detik. Satu foto, satu video, atau satu komentar bisa menjadi konsumsi publik tanpa izin dari pemiliknya. Privasi yang dilanggar bukan hanya soal data, tetapi juga soal martabat dan rasa aman seseorang.

Martabat manusia adalah hak yang tak boleh dikorbankan demi konten viral. Ketika seseorang direkam tanpa izin lalu disebarkan dengan narasi yang memojokkan, ia kehilangan kendali atas citra dirinya. Kita sering lupa bahwa di balik layar, ada manusia yang bisa terluka. Dan luka digital, meski tak terlihat, bisa bertahan lama dan memengaruhi kehidupan sosial maupun psikologis korban.

Menjaga privasi berarti menghormati batasan orang lain. Tidak semua momen layak untuk dibagikan. Tidak semua cerita pantas untuk dipublikasikan. Kita perlu bertanya: apakah ini milik saya untuk disebarkan? Apakah orang yang ada di dalam konten sudah memberi izin? Etika digital dimulai dari kesadaran bahwa tidak semua yang bisa dibagikan harus dibagikan.

Dalam Islam, menjaga kehormatan dan privasi orang lain adalah bagian dari akhlak mulia. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa menjaga privasi bukan hanya etika sosial, tetapi juga ibadah yang bernilai tinggi.

Kaum intelektual pun menekankan pentingnya martabat dalam ruang publik. Filosof Jürgen Habermas menyatakan bahwa komunikasi publik harus menjunjung nilai respek dan kesetaraan. Ketika kita menyebarkan konten yang merendahkan orang lain, kita telah merusak tatanan komunikasi yang sehat dan beradab.

Jika kita ingin membangun ruang digital yang sehat, maka menjaga privasi dan martabat harus menjadi prinsip utama. Media sosial bisa menjadi alat edukasi dan inspirasi, tapi hanya jika kita menggunakannya dengan empati dan tanggung jawab. Karena martabat bukan milik segelintir orang—ia adalah hak semua manusia.


Mari kita jadikan etika digital sebagai bagian dari karakter kita. Bukan hanya untuk menjaga reputasi, tetapi untuk menjaga kemanusiaan. Karena teknologi hanyalah alat, dan nilai manusialah yang menentukan arah penggunaannya.***

Komentar


Kolaborasi

Jadi bagian Yazri Harapan Nusantara