+6287773666282 Jl. Surabaya-Menceh, RT 00 RW 00, Mosok Dusun Leda Desa Surabaya, Kec. Sakra Timur, Provinsi NTB.
Yazri Harapan Nusantara
Belajar Bersama, Menumbuhkan Akses, Membangun Bangsa.
Judul Gambar 1
Judul Gambar 1 Caption penjelasan gambar 1
Judul Gambar 2
Judul Gambar 2 Penjelasan isi gambar 2 dan shrink aktif
Home Berita dan Artikel

Pernikahan Usia Dini dalam Tradisi Sasak dan Tantangannya di Era Modern

"Tradisi Merariq di Lombok dan isu pernikahan usia dini: antara pelestarian budaya dan perlindungan hak anak di era modern."

YAHANTARA.COM - Di Lombok, tradisi Merariq telah lama menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Sasak. Prosesi ini dikenal sebagai bentuk “melarikan” calon pengantin wanita, yang kemudian diikuti oleh pernikahan dan nyongkolan sebagai penghormatan kepada keluarga. Bagi sebagian masyarakat, Merariq adalah simbol keberanian dan cinta. Namun, di balik keunikan tradisi ini, muncul fenomena yang memicu perdebatan: pernikahan usia dini.

Belakangan ini, media sosial ramai membicarakan pasangan pengantin di Lombok yang menikah di usia 15 tahun. Banyak yang menganggapnya sebagai bagian dari adat, tetapi tak sedikit pula yang mempertanyakan legalitas dan dampak sosialnya. Apakah ini pelestarian budaya, atau justru pelanggaran terhadap hak anak?

Tradisi yang Sarat Makna, Tapi Perlu Dimaknai Ulang

Merariq bukan sekadar kawin lari. Ia adalah proses sosial yang melibatkan keluarga besar, komunitas, dan nilai-nilai adat. Namun, dalam praktiknya, usia calon pengantin sering kali tidak menjadi pertimbangan utama. Banyak pasangan yang menikah di usia belasan, bahkan sebelum menyelesaikan pendidikan dasar.

Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTB menunjukkan bahwa angka pernikahan anak di Lombok masih tinggi. Pada tahun 2024, tercatat lebih dari 1.200 kasus pernikahan di bawah usia 18 tahun. Sebagian besar terjadi di wilayah pedesaan, dengan alasan ekonomi, tekanan sosial, dan pelestarian adat.

Apa Kata Hukum?

Indonesia telah menetapkan batas minimal usia pernikahan melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2019. Usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Pernikahan di bawah usia tersebut hanya bisa dilakukan dengan dispensasi dari pengadilan.

Pernikahan usia 15 tahun, seperti yang terlihat dalam video viral beberapa waktu lalu itu, jelas melanggar ketentuan hukum jika tidak melalui proses dispensasi resmi. Selain itu, praktik ini berisiko tinggi terhadap kesehatan reproduksi, pendidikan, dan masa depan anak—terutama perempuan.

Antara Pelestarian Budaya dan Perlindungan Anak

Budaya adalah warisan yang harus dijaga. Tapi pelestarian budaya tidak boleh mengorbankan hak anak untuk tumbuh, belajar, dan berkembang. Tradisi bisa tetap hidup, asalkan dijalankan dengan kesadaran dan penyesuaian terhadap zaman.

Pernikahan usia dini sering kali dilakukan atas nama adat, namun tanpa mempertimbangkan kesiapan mental dan fisik anak. Banyak anak perempuan yang akhirnya putus sekolah, mengalami kehamilan berisiko, dan kesulitan mengakses pekerjaan layak.

Peran Pemuda Lombok dalam Transformasi Tradisi

Pemuda memiliki peran penting dalam merefleksikan dan membentuk ulang tradisi. Mereka bisa menjadi jembatan antara adat dan modernitas, antara pelestarian budaya dan perlindungan hak asasi. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:

- Mengadakan diskusi budaya di komunitas

- Membuat konten edukatif di media sosial

- Mendorong kampanye “sekolah dulu, nikah kemudian”

- Berkolaborasi dengan tokoh adat dan agama untuk menyusun panduan pernikahan yang sesuai syariat dan hukum negara

Tradisi Merariq bisa tetap dijalankan dengan cara yang lebih bijak. Misalnya, mengganti prosesi “melarikan” dengan lamaran simbolik, tetap melibatkan keluarga, dan memastikan usia calon pengantin sudah matang secara fisik dan mental.

Budaya yang Tumbuh Bersama Kesadaran

Beberapa komunitas di Lombok sudah mulai melakukan reinterpretasi tradisi Merariq. Mereka tetap menjalankan nyongkolan, musik gendang beleq, dan prosesi adat lainnya, namun dengan pasangan yang sudah dewasa dan siap menikah secara hukum dan sosial.

Ini menunjukkan bahwa budaya bisa tumbuh bersama kesadaran. Tradisi tidak harus ditinggalkan, tapi bisa dimaknai ulang agar tetap relevan dan tidak menimbulkan mudarat.

Kesimpulan

Pernikahan usia dini dalam tradisi Sasak adalah isu kompleks yang menyentuh ranah budaya, hukum, dan hak asasi. Pelestarian budaya tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan masa depan anak. Justru, dengan pendekatan yang bijak dan kolaboratif, tradisi bisa dimaknai ulang agar tetap hidup dan memberi manfaat.

Pemuda Lombok memiliki kekuatan untuk menjadi agen perubahan. Dengan semangat, kreativitas, dan kepedulian terhadap generasi berikutnya, mereka bisa menjaga budaya sekaligus melindungi hak anak. Karena budaya yang sehat adalah budaya yang tumbuh bersama kesadaran dan cinta kasih.***

Komentar


Kolaborasi

Jadi bagian Yazri Harapan Nusantara