Ngayu-ayu: Tradisi Sakral Sasak yang Menyatukan Alam, Leluhur, dan Doa
"Ritual Ngayu-ayu di Sembalun, Lombok Timur: tradisi sakral masyarakat Sasak sebagai ungkapan syukur dan penjaga keseimbangan alam."
YAHANTARA.COM - Di lereng Gunung Rinjani, tepatnya di Desa Sembalun, Lombok Timur, masyarakat Sasak menjaga sebuah tradisi sakral yang telah diwariskan selama lebih dari enam abad: Ngayu-ayu. Ritual ini bukan sekadar seremoni adat, melainkan bentuk syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta upaya menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur.
Ngayu-ayu dilaksanakan setiap tiga tahun sekali dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Filosofi di balik ritual ini sangat dalam: masyarakat percaya bahwa gangguan terhadap harmoni spiritual dapat menyebabkan bencana, penyakit, atau kegagalan panen. Maka, Ngayu-ayu menjadi sarana untuk “membersihkan” desa dari energi negatif dan memperkuat ikatan sosial serta spiritual.
Rangkaian ritual berlangsung selama dua hari penuh dan dimulai dengan pengambilan air dari tujuh mata air suci. Air tersebut disimpan semalam di rumah para ketua adat, lalu dikumpulkan di makam adat sebagai simbol penyatuan energi spiritual dan pembersihan desa. Tahapan ini mencerminkan penghormatan terhadap alam dan sumber kehidupan.
Salah satu momen paling sakral adalah penyembelihan kerbau hitam. Kerbau yang dipilih harus belum pernah kawin dan tidak memiliki cacat fisik. Penyembelihan dilakukan oleh laki-laki secara tradisional, dan kepala kerbau ditanam di ujung desa menghadap barat daya sebagai penolak bala. Dagingnya kemudian dimasak dan dibagikan kepada seluruh warga sebagai simbol keberkahan dan kebersamaan.
Selain kerbau, ayam betina berwarna hitam dan ayam jantan berwarna putih juga dipanggang sebagai bagian dari persembahan. Beras ketan digoreng, dan beras merah diolah menjadi dodol serta jajanan khas yang dibentuk menyerupai alat pertanian. Menariknya, beras merah hanya boleh dimasak oleh perempuan yang belum menstruasi atau yang sudah menopause—sebuah simbol kesucian dan keberlanjutan generasi.
Persembahan lainnya meliputi daun sirih, buah pinang, bunga kemenyan, kelapa, dan gula. Semua bahan ini digunakan dalam doa-doa yang dipimpin oleh ulama dan pemangku adat. Doa dipanjatkan untuk keselamatan, kemakmuran, dan keberkahan desa. Kain tenun khas Sembalun juga digunakan sebagai bagian dari perlengkapan ritual, menambah kekayaan visual dan identitas budaya dalam prosesi.
Setelah semua tahapan selesai, masyarakat berkumpul untuk makan bersama. Hidangan utama berupa daging kerbau, ayam panggang, ketupat, dan jajanan tradisional disajikan sebagai simbol rasa syukur dan solidaritas. Momen ini menjadi ajang silaturahmi dan penguatan ikatan sosial antarwarga.
Di era modern, Ngayu-ayu tetap relevan sebagai pengingat akan pentingnya menjaga tradisi, lingkungan, dan spiritualitas. Bagi generasi muda, ritual ini bisa menjadi sumber inspirasi untuk memahami akar budaya dan memperkuat identitas lokal. Lebih dari sekadar seremoni, Ngayu-ayu adalah bentuk pendidikan budaya yang mengajarkan nilai gotong royong, penghormatan terhadap alam, dan spiritualitas yang mendalam.
Bagi para kreator digital dan pegiat budaya, Ngayu-ayu adalah ladang konten yang kaya akan nilai visual dan narasi. Mulai dari ilustrasi kerbau hitam, jajanan berbentuk alat tani, hingga prosesi pengambilan air dari tujuh mata air, semuanya bisa divisualisasikan secara kreatif untuk memperkuat storytelling dan menarik perhatian audiens muda. Dengan pendekatan yang kontekstual dan kreatif, ritual ini bisa diangkat ke platform digital tanpa kehilangan esensi sakralnya.
Ngayu-ayu bukan sekadar ritual, tetapi warisan hidup yang menyatukan manusia, alam, dan spiritualitas. Dengan menjaga dan mengembangkan tradisi ini secara bijak, masyarakat Sembalun tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga memperkuat jati diri dan daya saing lokal. Ritual ini mengajarkan bahwa keberkahan bukan hanya soal materi, tetapi juga tentang hubungan yang harmonis dengan alam dan sesama. Di tengah dunia yang semakin cepat berubah, nilai-nilai seperti ini justru menjadi penyeimbang yang sangat dibutuhkan.***