+6287773666282 Jl. Surabaya-Menceh, RT 00 RW 00, Mosok Dusun Leda Desa Surabaya, Kec. Sakra Timur, Provinsi NTB.
Yazri Harapan Nusantara
Belajar Bersama, Menumbuhkan Akses, Membangun Bangsa.
Judul Gambar 1
Judul Gambar 1 Caption penjelasan gambar 1
Judul Gambar 2
Judul Gambar 2 Penjelasan isi gambar 2 dan shrink aktif
Home Berita dan Artikel Budaya

Ketika Nyongkolan Berubah Jadi Ajang Tawuran: Refleksi Budaya Sasak di Era Modern

"Nyongkolan Sasak: dari tradisi sakral ke konflik jalanan. Refleksi budaya dan solusi damai untuk generasi muda."

 "Ketika tradisi berubah menjadi ancaman, kita perlu bertanya: apakah kita masih memahami makna budaya yang kita warisi?"

Kutipan Gus Mus mengingatkan kita: “Tradisi yang baik memang perlu kita lestarikan, tapi yang buruk apa mesti kita lestarikan?” Pernyataan ini menggugah kesadaran bahwa pelestarian budaya bukan sekadar mempertahankan bentuk luar, tapi juga menjaga esensinya.

Nyongkolan adalah salah satu tradisi adat Sasak yang paling dikenal di Pulau Lombok. Prosesi ini merupakan bagian dari rangkaian pernikahan, di mana pihak pengantin pria mengarak mempelai wanita menuju rumah keluarga laki-laki. Diiringi oleh musik tradisional seperti gendang beleq atau kecimol, Nyongkolan bukan sekadar pawai, melainkan simbol penghormatan, pengumuman resmi kepada masyarakat, dan kebanggaan keluarga.

Namun, seiring waktu, makna sakral Nyongkolan mulai bergeser. Musik tradisional digantikan oleh irama keras yang lebih modern, peserta berpakaian dengan gaya yang tidak mencerminkan nilai adat, dan yang paling mengkhawatirkan—keributan mulai menjadi bagian dari prosesi. Tradisi yang dulu penuh makna kini terancam menjadi ajang tawuran.

Keributan yang Mengusik Makna

Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial dan laporan warga menunjukkan peningkatan insiden kekerasan yang terjadi saat Nyongkolan. Di Lombok Timur, misalnya, sebuah prosesi berubah menjadi bentrokan antar kelompok pemuda karena provokasi kecil yang dipicu oleh kecemburuan. Di Lombok Tengah, iring-iringan Nyongkolan terpaksa dibubarkan aparat karena terjadi saling lempar batu antar peserta.

Keributan yang terjadi dalam prosesi Nyongkolan tidak muncul begitu saja. Ada sejumlah faktor yang menjadi pemicu utama konflik, yang jika tidak ditangani dengan bijak, dapat merusak makna budaya yang terkandung di dalamnya.

Salah satu pemicu utama adalah konsumsi alkohol, baik sebelum maupun selama acara berlangsung. Meskipun secara adat tidak ada ruang bagi minuman keras dalam tradisi ini, kenyataannya banyak peserta—terutama dari kalangan muda—yang datang dalam kondisi tidak sadar penuh. Alkohol memicu perilaku agresif dan menghilangkan kontrol diri, sehingga gesekan kecil pun bisa berubah menjadi konflik terbuka.

Selain itu, provokasi verbal antar kelompok pemuda sering kali menjadi pemantik keributan. Dalam suasana yang ramai dan penuh semangat, kata-kata kasar atau ejekan kecil bisa dianggap sebagai penghinaan. Ketegangan antar kampung atau geng lokal pun kadang terbawa ke dalam prosesi, menjadikan Nyongkolan sebagai ajang unjuk kekuatan, bukan lagi simbol kehormatan.

Kurangnya pengawasan dari aparat keamanan dan tokoh adat juga memperparah situasi. Di beberapa kasus, prosesi berjalan tanpa pendampingan resmi, sehingga tidak ada pihak yang mampu meredam konflik saat mulai memanas. Padahal, kehadiran tokoh adat dan aparat bisa menjadi penyeimbang yang menjaga nilai-nilai budaya tetap dihormati.

Faktor lain yang turut memicu ketegangan adalah penggunaan musik keras dan gaya berpakaian yang dianggap tidak sopan oleh masyarakat sekitar. Irama modern yang menggantikan musik tradisional sering kali terlalu bising dan mengganggu ketenangan lingkungan. Ditambah lagi, sebagian peserta mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan norma adat, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan penolakan dari warga yang menyaksikan.

Ironisnya, keributan ini sering kali terjadi di tengah jalan umum, mengganggu lalu lintas dan menciptakan ketakutan di kalangan warga. Banyak orang tua kini merasa khawatir jika anak mereka ikut dalam prosesi Nyongkolan, bukan karena adatnya, tapi karena potensi konflik yang menyertainya.

Dampak Sosial dan Budaya

Keributan yang terjadi saat Nyongkolan bukan hanya masalah keamanan, tapi juga ancaman terhadap warisan budaya. Tradisi yang seharusnya menjadi kebanggaan kini dipandang negatif oleh sebagian masyarakat. Bahkan, ada wacana dari beberapa desa untuk membatasi atau melarang prosesi Nyongkolan di wilayah mereka.

Tokoh adat dan tokoh agama pun mulai angkat bicara. Mereka menilai bahwa nilai-nilai luhur dalam Nyongkolan telah terkikis oleh gaya hidup modern yang tidak memahami esensi budaya. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin generasi muda akan kehilangan identitas budaya mereka sendiri.

Solusi dan Harapan: Menjaga Tradisi, Menolak Tawuran

Untuk mengembalikan makna Nyongkolan sebagai tradisi yang bermartabat, diperlukan langkah nyata dari berbagai pihak. Salah satu pendekatan yang paling mendasar adalah edukasi budaya kepada generasi muda. Melalui jalur pendidikan formal di sekolah, kegiatan komunitas, dan konten kreatif di media sosial, nilai-nilai luhur Nyongkolan dapat dikenalkan kembali secara relevan dan menarik. Anak muda perlu memahami bahwa prosesi ini bukan sekadar hiburan, melainkan warisan identitas yang harus dijaga.

Di sisi lain, kolaborasi antara tokoh adat, pemerintah desa, dan aparat keamanan menjadi kunci dalam menciptakan regulasi yang jelas dan tegas. Dengan adanya kesepakatan bersama, setiap prosesi Nyongkolan dapat berjalan sesuai koridor adat dan hukum, tanpa mengabaikan aspek keamanan dan kenyamanan warga. Peran tokoh adat sangat penting dalam memberikan legitimasi budaya, sementara aparat bertugas memastikan prosesi berlangsung tertib.

Penegakan aturan juga harus dilakukan secara konsisten. Larangan konsumsi alkohol sebelum dan selama prosesi, pembatasan waktu pelaksanaan, serta pengawasan terhadap jenis musik yang digunakan merupakan langkah-langkah konkret yang bisa diterapkan. Aturan ini bukan untuk membatasi ekspresi, melainkan untuk menjaga agar Nyongkolan tetap menjadi ruang penghormatan, bukan pemicu konflik.

Penutup: Refleksi untuk Masa Depan Budaya Sasak

Nyongkolan bukan sekadar arak-arakan. Ia adalah cerminan nilai, identitas, dan kehormatan masyarakat Sasak. Jika tradisi ini berubah menjadi ajang tawuran, maka kita semua kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar prosesi pernikahan.

Generasi muda memiliki peran penting dalam menjaga warisan ini. Dengan memahami esensi budaya dan menolak bentuk ekspresi yang merusak, mereka bisa menjadi penjaga tradisi yang bijak dan bermartabat.

Komentar


Kolaborasi

Jadi bagian Yazri Harapan Nusantara