Hadji Abdulrachman: Emissary Lombok di Tengah Diplomasi dan Perlawanan
![]() |
| Ini adalah representasi visual Hadji Abdulrachman sebagai emissary Lombok tahun 1892. Gambar dibuat dengan AI |
YAHANTARA.COM - Ketika ancaman kolonialisme Belanda semakin mendekat ke wilayah timur Nusantara pada awal 1890-an, Raja Lombok, Sri Paduka Yang Mulia Anak Agung Gde Ngurah Karangasem, mengambil langkah strategis: mengirim seorang utusan ke Singapura untuk membeli senjata. Sosok yang dipercaya menjalankan misi penting ini adalah Hadji Abdulrachman, seorang emissary yang tidak hanya cakap dalam urusan dagang, tetapi juga memahami jalur diplomatik dan hukum internasional.
Dalam laporan resmi pemerintah Hindia Belanda yang dikirim dari Singapura ke Batavia tahun 1892, Hadji Abdulrachman disebut sebagai “inlander berpengaruh” yang membawa sejumlah besar uang untuk membeli senjata dan amunisi. Ia tercatat sebagai utusan resmi dari Raja Lombok yang berusaha mengatur pengiriman senjata melalui kapal Cina. Laporan tersebut menyebut bahwa aktivitasnya diawasi ketat oleh Konsul Belanda karena dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas kolonial di wilayah timur (Sumber: Koloniaal Verslag, 1893; Delpher.nl).
Singapura saat itu merupakan pelabuhan strategis di bawah kekuasaan Inggris dan menjadi pusat perdagangan senjata. Abdulrachman mencoba memanfaatkan posisi ini untuk memperkuat pertahanan Lombok. Namun, ketika kapal yang membawa senjata untuk Lombok dicegat dan disita oleh Belanda, ia tidak tinggal diam. Ia menggandeng pengacara Inggris bernama J.C. Mitchell untuk mengajukan petisi kepada Pemerintah Straits Settlements agar menekan Belanda dan menghormati hak dagang kerajaan Lombok.
Petisi tersebut tercatat dalam arsip hukum kolonial Inggris sebagai bagian dari “permintaan intervensi diplomatik oleh pihak pribumi dari Lombok” (Sumber: Singapore Free Press, 1892, via National Archives UK). Meskipun tidak membuahkan hasil konkret, langkah ini menunjukkan kecerdasan diplomatik Abdulrachman yang mampu menavigasi sistem hukum kolonial dan mencoba memanfaatkan celah diplomatik untuk kepentingan kerajaannya.
Dalam catatan militer Belanda menjelang invasi ke Lombok, disebutkan bahwa “upaya pembelian senjata oleh utusan Raja Lombok melalui Singapura menunjukkan adanya jaringan perlawanan yang melampaui batas wilayah.” Abdulrachman digambarkan sebagai figur yang “berani dan licik,” dalam arti mampu menembus batas diplomasi kolonial dan menjalin kontak dengan aktor asing seperti Vasily Malygin, pedagang senjata asal Rusia (Sumber: Algemeen Handelsblad, 1894).
Berkat inisiatif Abdulrachman, Malygin membeli sebuah junk Cina dan memuatnya dengan senjata serta bahan peledak untuk dikirim ke Lombok. Aksi ini menjadi bagian penting dalam sejarah perlawanan lokal. Tanpa peran sang emissary, mungkin Malygin tidak akan pernah terlibat, dan Lombok akan kehilangan salah satu peluang penting untuk memperkuat pertahanan. Ini menunjukkan bahwa tokoh-tokoh di balik layar sering kali memiliki dampak besar dalam sejarah.
Sayangnya, seperti halnya Malygin, nama Hadji Abdulrachman nyaris tenggelam dalam arsip sejarah. Tidak banyak catatan yang mengungkapkan latar belakangnya, peran lanjutannya setelah misi di Singapura, atau nasibnya setelah Perang Lombok berakhir. Minimnya dokumentasi ini menjadi refleksi bahwa sejarah lokal sering kali melupakan tokoh-tokoh yang tidak berada di garis depan, meskipun kontribusinya sangat signifikan.
Dalam konteks sejarah diplomasi Nusantara, Abdulrachman adalah contoh nyata bahwa perlawanan terhadap kolonialisme tidak selalu bersifat militer. Ia menunjukkan bahwa strategi, negosiasi, dan keberanian dalam menghadapi tekanan internasional adalah bagian penting dari perjuangan. Ia adalah representasi dari kecerdasan lokal yang mampu menavigasi dunia kolonial dengan taktik yang cermat dan berani.
Kisah Hadji Abdulrachman layak diangkat kembali, terutama dalam upaya revitalisasi sejarah lokal dan pendidikan generasi muda. Ia bisa menjadi simbol diplomasi rakyat, keberanian sipil, dan kecerdasan strategis dalam menghadapi kekuatan global. Bayangkan jika Lombok memiliki ruang edukatif atau instalasi publik yang menceritakan peran sang emissary—sebuah cara untuk menghidupkan kembali sejarah yang nyaris terlupakan.
Sebagaimana kisah Vasily Malygin yang disadur dari tulisan Dr. Suryadi di blog LIAS – SAS Indonesië, Universiteit Leiden, peran Hadji Abdulrachman tercatat dalam sumber-sumber Belanda sebagai bagian dari eskalasi konflik yang mendorong intervensi militer. Kini, tugas kita adalah memastikan bahwa jejaknya tidak hanya tersimpan di arsip, tetapi juga hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia—sebagai tokoh lokal yang berani menembus batas diplomasi demi membela tanah airnya.***
