+6287773666282 Jl. Surabaya-Menceh, RT 00 RW 00, Mosok Dusun Leda Desa Surabaya, Kec. Sakra Timur, Provinsi NTB.
Yazri Harapan Nusantara
Belajar Bersama, Menumbuhkan Akses, Membangun Bangsa.
Judul Gambar 1
Judul Gambar 1 Caption penjelasan gambar 1
Judul Gambar 2
Judul Gambar 2 Penjelasan isi gambar 2 dan shrink aktif
Home Berita dan Artikel Pendidikan

Dampak Buruk Budaya Menghakimi di Media Sosial

"Budaya menghakimi di media sosial bisa merusak mental dan martabat. Saatnya bangun empati dan klarifikasi sebelum berkomentar."

YAHANTARA.COM - Di era media sosial, siapa pun bisa menjadi komentator, pengamat, bahkan hakim. Satu video yang viral bisa memicu ribuan komentar yang menghakimi tanpa dasar. Kita hidup dalam budaya digital yang sering kali lebih cepat menyimpulkan daripada memahami. Padahal, di balik setiap unggahan, ada cerita yang belum tentu kita tahu.

Budaya menghakimi tumbuh dari kebiasaan menyimpulkan secara sepihak. Kita melihat satu potongan video, lalu merasa cukup untuk menilai seluruh karakter seseorang. Padahal, kebenaran sering kali tersembunyi di balik konteks yang tidak terlihat. Ketika kita menghakimi tanpa tabayyun, kita bukan sedang menyuarakan kebenaran—kita sedang memperkuat luka.

Penghakiman digital bukan hanya menyakiti secara emosional, tetapi juga bisa berdampak sosial. Korban bisa kehilangan reputasi, pekerjaan, bahkan akses pendidikan. Kita sering lupa bahwa media sosial bukan ruang bebas nilai. Ia adalah ruang publik yang seharusnya dijaga dengan etika dan empati.

Islam mengajarkan pentingnya klarifikasi sebelum menilai. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurat:6). Prinsip tabayyun ini adalah fondasi moral yang sangat relevan di era digital.

Filsuf Immanuel Kant menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Ketika kita menghakimi seseorang demi konten atau sensasi, kita telah menjadikan mereka alat hiburan, bukan sesama yang layak dihormati. Etika digital harus berakar pada penghormatan terhadap martabat manusia.

Budaya menghakimi juga merusak ekosistem digital. Ia menciptakan ketakutan, mematikan ruang dialog, dan memperkuat polarisasi. Media sosial seharusnya menjadi ruang belajar dan berbagi, bukan ruang penghakiman yang penuh prasangka. Kita perlu membangun budaya klarifikasi, bukan asumsi.

Setiap komentar yang kita tulis, setiap konten yang kita sebarkan, adalah cerminan dari nilai yang kita pegang. Jika kita ingin ruang digital yang sehat, maka kita harus mulai dari sikap yang adil dan bijak. Klarifikasi, empati, dan kesediaan untuk mendengar adalah kunci untuk mengubah budaya digital kita.

Mari kita ubah cara kita berinteraksi di media sosial. Bukan dengan menghakimi, tetapi dengan memahami. Karena di balik setiap unggahan, ada manusia yang layak dihormati, bukan dijatuhkan.***


Komentar


Kolaborasi

Jadi bagian Yazri Harapan Nusantara